MENGINTIP KEINDAHAN & KEUNIKAN ALAM SUMATERA BARAT (2D1N Trip) “Dengan Budget Rp.2jt an (start from Jakarta)”
First Day Adventure in West Sumatera
Sumatera Barat (Sumbar) tak hanya terkenal dengan cita rasa masakan padang yang kelezatannya layak diberi 2 jempol. Bahkan kelezatan masakan padang telah di akui banyak penggemar kuliner di dunia. Belum lama inipun ada seorang turis bernama Audun Kvitland asal Norwegia yang datang berwisata ke Indonesia dan merasakan kenikmatan masakan padang hingga terinspirasi menciptakan lagu berjudul “nasi padang” (jumlah viewer di Youtube lebih dari 2jt).
Tahun lalu (di pertengahan 2016) terpikir spontan ingin mengisi waktu libur kerja 2 hari dengan melakukan trip ke Sumbar. Tak butuh banyak persiapan, seperti biasa hal pertama yang saya lakukan adalah searching tiket penerbangan dengan harga terhemat, menentukan itin utama, memilih hotel yang strategis & nyaman dengan budget hemat serta search rental mobil.
Tiket penerbangan saya dapatkan dengan harga Rp.900.000,- an untuk rute PP Jakarta (Soekarno-Hatta) - Padang (Minangkabau International Airport).
Kedua, menyusun itinerary (menyesuaikan dengan periode waktu trip dan penggunaan waktu terhemat dalam perjalanan explore). Hal tersebut juga berpengaruh pada pemilihan lokasi Hotel dimana saya akan stay selama di Sumbar (supaya tak salah memilih lokasi). Step ketiga saya lakukan komparasi dan negosiasi rental mobil (waktu itu saya dapat harga the best dengan deal Rp.550.000/hari include dengan supir & BBM). Cukup wajar karena dari rute yang saya ajukan jarak tempuh cukup jauh dan jalan yang di lalui naik turun serta berkelok-kelok.
Jujur 2 hari sebelum keberangkatan saya merasa kecewa dan kesal karena perubahan jam terbang pesawat yang tadinya saya issued di jam 07.10 WIB dirubah jd keberangkatan jam 08.50. Itin berantakan karena perbedaan waktu 2 jam sangatlah berharga untuk sebuah Short Trip.
Hari H akhirnya tiba dan pesawat kami take off di jam 09.20 WIB from Soekarno Airport. Waktu tempuh 1 jam 45 menit. Sekitar jam 11.10 pesawat landing di Minangkabau International Airport. Kami menuju pintu exit airport menghampiri mobil rental yang sudah kami sewa (saya pergi dengan seorang teman wanita yang kebetulan juga sangat ingin pergi mengunjungi Sumbar).
Dari Bandara sesuai dengan itin yang sudah kami sepakati dengan supir rental mobil kami menuju ke perjalanan yang searah dengan jalur dari Minangkabau Airport ke Kelok Sembilan dan bermalam di Hotel Bukit Tinggi.
Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Air Terjun Lembah Anai. Lokasinya di Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar Biasanya ketika kita ingin pergi ke air terjun harus melalui medan jalan yang cukup sulit dan jauh dari akses jalan utama
Tetapi berbeda dengan air terjun Lembah Anai yang letak nya tepat di tepi jalan akses jalan utama yang menghubungkan kota Padang ke Bukittinggi. Takjub juga melihat di tepi jalan ada air terjun indah dengan bebatuan di sekitarnya. Langsung saja kami melompat keluar dari mobil dengan perasaan senang ingin menceburkan kaki ke dalam kolam air terjun untuk merasakan dingin dan segarnya air yang super jernih. Sekitar 30 menit di Lembah Anai perjalanan lanjut ke Nagari Sikucur kampung dalam.
Di perjalanan sengaja kami mampir ke Sate Mak Syukur “sate padang paling ternama di Sumbar”, walau di Jakarta juga banyak cabang-cabang Sate Mak Syukur tetapi belum lengkap kalau sudah berkunjung ke Padang tidak langsung mencicipi ke lokasi asalnya. Beberapa Pejabat Negara dan artis negeri kami juga pernah mampir ke rumah makan sate padang ini. Cukup luas parkir mobil nya,letak tepat di pinggir jalan utama dan resto pun luas bisa menampung hingga 60 an pengunjung. 2 porsi sate padang lengkap dengan lontong kami pesan. Lezat, dengan rasa rempah yang meresap hingga ke dalam potongan daging ayam, tak salah jika ini menjadi salah satu kuliner yang wajib dicoba.
Jam 12.50 mobil kembali melaju di tengah keramaian kota. Menuju ke Nagari Sikucur. Air terjun berikutnya yang akan kami lihat. Sepanjang perjalanan banyak hamparan hijau sawah, lading, bukit dan pegunungan yang indah. Sungguh sayang untuk dilewatkan. Di Nagari Sikucur kami hemat waktu. Hanya 30 menit kami berkeliling kerena kebetulan saat itu musim kemarau sehingga air terjun sedang tidak mengalir.Tak masalah bagi saya, karena alam yang ada di sekitarnya tetap layak untuk kita kagumi.
Kembali ke salah satu itin utama kami hari ini, Kelok Sembilan. Kerana jarak dari Minangkabau International Airport ke Kelok Sembilan sekitar 130 km dengan waktu tempuh kurang lebih 3 jam (dikarenakan medan jalan yang berkelok dan naik turun sehingga kecepatan mobil tidak bisa stabil.
Di perjalanan pun kami sempat minta berhenti di beberapa titik yang kami lihat menarik. Cukup unik memang alam Sumbar, sulit ditemukan di propinsi lain.
Tiba di Kelok Sembilan hari sudah menjelang sore, jam 15.10. Tetapi masih cukup terang dan panas juga disana. Wuahhh ini yang kami tunggu-tunggu. Merasakan sensasi berkendara di kelokan-kelokan tajam yang menanjak panjang. Para pengendara yang melewati kelok 9 dipastikan tidak akan bosan.
Karena konstruksi jalan yang unik. Kelok 9 yang dulu yang berbatasan dengan jurang sekarang tidak lagi menyeramkan karena ditopang oleh 30 pilar yang kokoh dengan ketinggian 10-15 meter dan mampu menampung 14.000 kendaraan setiap harinya. Kelok 9 memiliki jembatan penghubung yang membentang meliuk-liuk dan menjadi ciri khas dari kelok 9 itu sendiri dengan panjang 2,5 KM.
Pemandangan alam sekitar luar biasa keren. Sampai di titik jalan tertinggi, kami ke spot utama yang dari titik kita berdiri bisa melihat seluruh area Kelok Sembilan dengan jelas. Bentangan gunung, bukit yang menghijau, birunya langit sore itu dan susunan jalan yang berkelok dan bertumpuk menjadi satu tumpuan pandangan.
Ternyata Kelok 9 memiliki usia yang lebih tua dibanding Negara ini (dihitung dari masa kemerdekaan RI). Karena Kelok 9 dibangun pada masa penjajahan Belanda tahun 1910. Namun usianya yang tua bukan berarti konstruksi bangunannya juga sudah tua, karena pada tahun 2013 dilakukan pembangunan ulang Kelok 9 untuk semakin memperkokoh keberadaan kelok 9 dan telah diresmikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden pada saat itu.
Jam 15.45 kami kembali ke mobil, supaya sebelum gelap kami bisa mampir ke Lembah Harau, terletak di Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota yang merupakan salah satu lembah terindah di Sumbar dan masuk dalam 10 lembah terindah di Indonesia. Kebetulan juga jalan nya sejalur dengan arah kami ke Bukit Tinggi.
Lembah Harau merupakan lembah yang tanahnya subur, berada sekitar 138 km dari Padang dan sekitar 47 km dari Bukittinggi atau sekitar 18 km dari Kota Payakumbuh dan 2 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Lima Puluh Kota. Tempat ini dikelilingi batu granit terjal berwarna-warni dengan ketinggian 100 sampai 500 meter serta memiliki 4 air terjun (sasarah).
Ada mitos kepercayaan masyarakat setempat jika di Lambah Harau ada pelangi maka Bidadari turun dari kayangan untuk mandi di ke empat sasarah tersebut (sasarah Aie Luluih, sasarah Bunta, sasarah Murai dan sasarah Aka Barayun).
Karena waktu kami sangat terbatas, maka cukup berhenti sekitar 20 menit di Lembah Harau, mengambil beberapa foto dan berkeliling, lalu kami lanjut ke Bukittinggi (walau sebenarnya masih belum puas menikmati keindahan dan suasana tenang di Lembah Harau). Masih ada 1 objek wisata yang ingin kami kunjungi sebelum hari menjadi gelap.
Bersyukur di hari tersebut perjalanan cukup lancar, tidak terlalu ramai lalu lintas sehingga kami bisa datang ke tujuan kami tanpa hambatan.
Tibalah kami di The Great Wall of Koto Gadang. Dari lokasi ini kita bisa berjalan kaki menuju ke Jajang Koto Gadang (Jajang 1000).
The Great Wall of Koto Gadang ini konsepnya mirip dengan tembok China. Untuk menuju ke lokasi tersebut kita berjalan kaki di jalan yang agak sulit. Licin, sempit dan menyeberangi jembatan kayu gantung. Butuh keberanian untuk menuju kesana, tetapi cocok bagi anda yang suka tantangan.
Perjalanan menuju ke lokasi Great Wall sekitar 20 menit dengan jalur yang kanan kiri nya masih banyak sawah, alang-alang dan lembah. Setelah menyeberangi jembatan kayu gantung, saya tiba di anak-anak tangga yang sudah merupakan bagian awal dari Great Wall. Ada ratusan anak tangga yang harus kami lalui untuk tiba di Jajang Koto Gadang. Supaya tidak dehidrasi sebaiknya kita siap membawa 2 botol air mineral. Karena cukup banyak energy yang harus kita siapkan untuk melewati anak-anak tangga dan perjalanan yang menanjak.
Jam 18.10 matahari mulai merunduk di sisi barat, sebelum terang menjadi gelap kami turun menelusuri jalan ke arah parkir mobil. Khawatir juga melalui jalanan ini jika dalam kondisi gelap (kami berdua perempuan dan agak sepi pengunjung, kerena rata-rata pengunjung ramai di pagi hari).
Selanjutnya kami minta diantar ke Hotel. Karena letak hotel yang saya pilih tidak jauh dari posisi Jam Gadang, tak sulit kami untuk pergi ke Jam Gadang dengan berjalan kaki saja. Sambil menikmati dinginnya kota Bukittinggi di malam hari.
Sampai hotel kami istirahat, mandi dan merebahkan badan sebentar setelah seharian duduk di mobil dan berkelana ke medan-medan yang membutuhkan energy cukup besar. Hotel ini cukup nyaman walau tarif menginap di hotel ini hanya 200 ribuan/malam (kapasitas 2 orang) lengkap dengan toilet di dalam kamar yang cukup bersih. Lokasi di pinggir jalan besar dan jarak ke pusat kota Bukit Tinggi (termasuk ke Jam Gadang) bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 15 menit saja.
Jam 19.30 kami keluar hotel menuju ke Jam Gadang untuk explore, sekaligus mencari tempat makan malam yang menjadi favorite warga sekitar.
Asik juga bersantai di area Jam Gadang. Banyak pedagang dan orang bersantai-santai di kursi taman. Di seberang Jam Gadang juga terdapat deretan pertokoan, swalayan dan café.
Jam Gadang adalah landmark kota Bukittinggi dan provinsi Sumbar. Simbol khas Sumbar ini pun memiliki cerita unik karena usianya yang sudah cukup tua. Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun dan jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota).
Pada masa penjajahan Belanda, ornamen jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan. Lalu pada masa penjajahan Jepang, ornamen jam berubah menjadi klenteng. Sedangkan pada masa setelah kemerdekaan, bentuknya ornamennya berubah dengan bentuk gonjong rumah adat Minangkabau. Angka-angka pada jam tersebut juga unik dimana angka empat pada angka Romawi biasanya tertulis dengan IV, namun di Jam Gadang tertera dengan IIII. Dari menara Jam Gadang, para wisatawan bisa melihat panorama kota Bukittinggi yang terdiri dari bukit, lembah dan bangunan berjejer di tengah kota.
Puas berfoto dan duduk-duduk di taman, perut mulai lapar. Kami mencari café yang bisa makan sambil santai menghirup udara malam yang dingin. Di Sudut taman sisi luar ada café cukup besar, 2 lantai yang kami lihat cukup cozy untuk makan sambil nongkrong. Lokasi di lantai dua juga semi Outdoor, bisa sambil melihat lampu-lampu kota Bukit Tinggi. Daftar menu makanan pun cukup banyak pilihan nya.
Jam 22.25 kami kembali ke Hotel, istirahat mengumpulkan energy kembali untuk adventure esok hari (kami harus berangkat dari hotel jam 7 tepat supaya semua itin list dapat kami realisasikan untuk dikunjungi).
Komentar
Posting Komentar